Kamis, 17 Juli 2014

Jalan-Jalan ke Wageningen


22.
Nevskia mengendarai sepedanya menuju ke gedung Forum tempat pak James berada. Sepanjang perjalanan ia agak heran karena ia mendapati gedung-gedung yang ia lewati sepi. Tapi ia tak memperdulikannya. Nevskia tetap melanjutkan mengayuh sepedanya sambil terseyam-senyum, tersenyum teringat kebodohannya di depan pak James dan tersenyum karena masalah pertumbuhan bakterinya sudah terpecahkan. Ia sekali-sekali melirik pada hand bag-nya, yang berisi revisi draft proposal esainya yang akan ia serahkan kepada pak James, dan tempat pensilnya yang berisi perlengkapan laboratoriumnya, korek gas, bolpon, cutter, gunting, marker, lem, selotip, dan alkohol. Ia merasa aman dengan keberadaan tempat pensil tersebut, sehingga kemana pun ia pergi, ia tak perlu membawa perlengkapan persenjataan untuk melindungi diri, ia sudah merasa cukup aman dengan peralatan yang ada di tempat pensilnya.
Pun sampai di depan gedung Forum, Nevskia tidak mendapati banyak orang. Nevskia hanya mendapati segerombolan teman-teman labnya yang membawa dan menunutun sepeda mereka. Yoke mengenakan tas merah, jaket kulit hitam, celana jeans dan sepatu sneaker, menuntun sepedanya yang juga berwarna merah. Alise yang mengenakan jaket biru terang, mengenakan celana jeans, sepatu coklat, jilbab putih dan kaca mata hitam, berdiri di depan sepadanya yang barusan ia tegakkan. Janna seorang atlet Nigeria yang kuliah di jurusan Mikrobiologi Pangan mengenakan legging hitam, rok pendek sepahanya warna neon hijau terang, jaket hitam lengan panjang, dan inner yang juga merupakan jilbab warna hitam, dan kaca mata hitam nangkring di atas sepedanya menunjukkan ibu jari dan jari tengah tangan kanannya membentuk huruf V, berpose di depan kamera. Steno yang merupakan keturunan China mengenakan jaket hoody tebal warna hitam garis-garis ungu kecil berdiri di belakang Janna mengamati Janna sambil meyilangkan tangannya di dadanya, sambil tersenyum. Ine dan Fruti yang masing-masing mengenakan sweater wol abu-abu tebal, yang dari jauh kelihatan hampir seragam, tetapi ternyata berbeda model, berdiri di samping jauh Steno sedang mengobrolkan sesuatu. Arho yang mengenakan rain jacket merah berdiri di bawah pohon mengahadap ke kiri sepertinya sedang mengomentari sesuatu, di belakangnya ada Neapo, dan di depannya ada Albert yang juga mengamati ke arah obyek yang sedang di amati Arho.
Nevskia tersenyum sambil membunyikan belnya untuk teman-temannya. Di kepalanya menanyakan sedang apa teman-temannya berkumpul di situ. Ia sangat senang mengamati mereka. Alangkah kompaknya. Meskipun ia belum bisa menjadi bagian dari kelompok tersebut, dan ia tidak tahu apakah ia bisa menjadi bagian dari kelompok tersebut, tapi sekarang Nevskia sudah mulai menyukai mereka, dan sudah merasakan bahwa sesungguhnya mereka baik pada Nevskia. Tapi toh akhirnya saat ini pun ia tidak bisa bergabung dengan mereka, ia hanya tersenyum dan melambaikan  tangan kepada mereka, Nevskia lebih memilih menemui pak James untuk menyerahkan revisi draft proposalnya.
 “Nevskia ikut yuk,” teriak Ine melambaikan tangannya pada Nevskia.
“Aku ada janji dengan pak James!” teriak Nevskia tersenyum.
“Iya Nevskia, nggak apa-apa nanti habis nemuin dosen ikut aja!” teriak Ine.
“Ayolah Nevskia, gabung dengan kita jalan-jalan...”
“Kita tunggu di sini ya!”
Nevskia tersenyum kepada mereka.
Emang kemarin kamu nggak sms Jann?” tanya Neapo.
“Sms.”
Dibales nggak Jan, smsnya?” tanya Neapo.
“Nggak, spertinya nggak dibuka malah,” kata Janna menggeleng.
Nevskia masih tersenyum-senyum sebagai penghormatan atas ajakan dan sapaan mereka, selanjutnya ia membalikkan badan dan berlari memasuki gedung.
Sepi, tidak ada satu makhluk pun di gedung itu. Beberapa ruangan tertutup dan di kunci. Nevskia hendak masuk ke ruangan pak James tapi dikunci, sepi, lampunya dimatikan. Pun ruangan di kiri-kanan samping pak James sepi, dan lampunya dimatikan. “Kok sepi,” batin Nevskia. Ia mengingat-ingat sesuatu, “Ini hari libur ya?” Nevskia mengamati hand phonenya. “Oia, ini kan tanggal merah hari buruh Internasional.” Nevskia mengamati sekitar dengan tanpa kontrol, “Mana aku tadi udah bilang sama temen-temen kalau aku mau nemuin dosen lagi..” Nevskia tertawa geli.
Nevskia lalu menuruni tangganya.
Sampai di bawah, Nevskia mengamati teman-temannya, yang sudah bertambah banyak, dengan menahan malu, ia bersembunyi di balik pintu dan mengamati teman-temannya. Sudah ada Ige di situ mengenakan kaos lengan panjang warna hijau neon, celana jeans, dan sepatu kets putih sedang menelepon seseorang. Di depannya sudah ada Steno yang tinggi menjulang mengenakan jaket abu-abu, celana coklat, sepatu putih dan mencangklong tas ransel, mengamati Ige yang sedang menelepon. Sudah ada si kembar Icha dan Ichi juga, Nevskia akhirnya keluar dengan malu-malu, “Libur ya..?” kata Nevskia sambil tersenyum sambil berjalan mendekati mereka.
“Libur ya Nevskia..? tanya Arho, Neapo tersenyum mengamati Nevskia. “Tadi aku sudah mau memperingatkan, lho kok Nevskia nemuin pak James, kan libur, tapi aku nggak jadi..!” kata Ine. “Iya, tadi aku juga mau ngingetin, Nevskia ini libur, juga tidak jadi...” kata Alise memenjepkan bibirnya, mengejak Nevskia. Yang lain mengamati Nevskia sambil tersenyum-senyum pada Nevskia
 “Makanya tadi aku lewat gedung sepi, agak aneh sih, kok sepi, ternyata libur..” kata Nevskia tertawa.
“Ya udah ayo ikut saja Nevskia, ayo kita berangkat!” kata Steno tertawa, lalu menaiki sepedanya.
“Yok, ayok..!” kata Ine dan Alise menaiki sepedanya, lalu hampir bersamaan melajukan sepedanya ke depan.
“Pergi dengan Nevskia itu sesuatu..” kata Janna yang bersepeda menjajari Nevskia, Janna menggeleng-gelengkan kepalanya mengamati penampilan Nevskia, sementara yang lain mengenakan pakaian sport, Nevskia mengenakan skinny pant warna hitam, vintage skirt warna coklat muda selututnya, dan kemeja putih, dan sepatu fantofel coklat tua, dan pakai syal abu-abu lagi, sedangkan hand bagnya bersisi buku-bukunya. Nevskia tertawa sendiri mengamati penampilannya.
“Emang aneh banget Nevskia,” kata Alise yang melewati Nevskia, mendahului bersama Ine.
Nevskia tersenyum.
“Jadi Wageningen pada awalnya merupakan daerah pertanian, dan itulah yang melatarbelakangi munculnya Wageningen University." Steno berdiri, setelah turun dari sepedanya, menunjuk sawah yang ada di sekitarnya sambil keterangan pada teman-temannya.
 Mereka berhenti di tengah jalan yang merupakan persawahan yang luas di kanan-kiri mereka. “Kita istirahat dulu saja di sini,” perintah Steno. Nevskia turun dan menegakkan sepedanya di tengah jalan begitu saja,  kemudian ia juga berdiri di tengah jalan menyilangkan kakinya mengamati teman-temannya, tidak tahu apa yang akan ia lakukan di tengah teman-temannya. Semua teman-teman Nevskia turun dari sepedanya dan bersliweran di antara Nevskia menikmati pemandangan tersebut. Alise ngobrol dengan Ine, Albert eksyen di depan kamera dengan latar belakang sawah yang menghijau dan pohon-pohon yang menggugurkan daunya, meninggalkan warna coklat yang berjajar-jajar yang meruncing-runcing ujungnya di tepi jalan, Steno menuntun sepedanya di pinggir sawah menyusuri dan mengamati sawah tepat di pinggirnya. Neapo berdiri menyedekapkan kedua tanganya di dadanya mengamati pemadangan di sekitarnya, sedangkan Neapo bergerombol dengan Janna, Yoke, Fruti, dan Ige entah mendiskusikan apa.
 “Kacang – kacang!” tawar Arho.
“Mau..!” kata Nevskia langsung melaju dan mencomot kacang yang berada di tangan Arho tersebut.
“Roti – roti!” tawar Fruti.
Mau dong..!” kata Nevskia sambil memasukan kacang kedalam mulutnya, lalu bergerak ke arah fruti langsung mencomot roti yang dibawa Fruti.
“Wah, Nevskia ternyata doyan makan.” komentar Neapo.
Nevskia menghadap ke Neapo lalu tertawa, memamerkan gigi-giginya yang putih, tanpa mengeluarkan suara. Nevskia, Arho, dan Fruti duduk di rumput. Lalu mereka duduk secara otomatis membentuk lingkaran.
“Eh, ini yang ngrencanain siapa sih, kok aku nggak tahu!” tanya Nevskia bertanya kepada Alise, sambil makan kacangnya.
Semua orang berpandang – pandangan.
“Yang bawa tikar Neapo.”
“Yang bertanggung jawab nyiapin sepeda dan kelengkapannya Albert dan Steno.”
“Yang nyiapin makanan Fruti.”
“Yang nyiapin sms untuk woro – woro temen – temen Janna.” terang mereka keroyokkan.
“Emang kamu nggak dapat sms, Nev?” tanya Janna, sambil memasukkan kacang ke mulutnya.
“Nggak! Eh, atau aku dapet tapi nggak kubaca? Nggak tahu ding..!” Nevskia menunduk malu.
 “Huu..!” Janna mendorong punggung Nevskia.
Nevskia tersenyam –senyum.
“Oh..pantes, tadi ada anak yang libur – libur nemuin dosen.. nggak jelas gitu sih!” terang Alise lagi sambil makan kacang goreng.
"Wakakak!" yang lain tertawa ngakak.
“Aah…!” kata Nevskia tersipu malu, pipinya bersemu merah.
***
23.
Nevskia masih senyam-senyum mengamati teman-temannya dan tersenyum mengingati kebodohannya sendiri masuk libur-libur. Sepanjang perjalanan ia mendengarkan cerita teman-temannya. Steno menjelaskan bahwa perjalanan masih harus menempuh Niew Kanaal, Arboretum Balmonte, dan Geertjesweg, jadi Nevskia masih punya banyak waktu untuk mengenal teman-temannya. Sepanjang perjalanan itu pula yang banyak dibahas adalah permasalah lab, kegagalan penelitian, sampai mana penelitian, penelitiannya siapa yang gagal, dan penelitiannya siapa sampai mana. Juga sedikit membahas tugas esai dan dosen pembimbing dosen esai. Nevskia beberapa kali kena pertnyaan, karena ia dapat pak James yang cukup terkenal di seantero kampus.
Selebihnya Nevskia lebih banyak mendengarkan sambil tersenyum-senyum. Kali ini momennya berbeda, ia benar-benar pergi dengan teman yang ditakutinya, teman yang selama ini dijauhinya, teman yang kalau bisa ia tidak bersentuhan dengan mereka, karena mereka orang-orang borju, orang-orang berduit, orang-prang yang nge-geng, dan semua yang ditakuti Nevskia. Tapi ternyata mereka baik, mereka perhatian dengan teman, dan kesan galak yang Nevskia temui waktu pertama kali Nevskia berjumpa dengan mereka adalah kosong sama sekali kali ini. Tapi sepanjang sejarah, Nevskia mengingat-ingat Neapo, Nevskia tidak menemukannya kalau ia punya teman Neapo, dimana duduknya dia waktu kuliah, dimana dia dalam kehidupan kampus sehari-hari, Nevskia tidak mengingatnya. Nevskia mengamati Neapo dan tersenyum saat mengamatinya sementara Neapo asik bercanda dan mengobrol dengan teman-temanya.
“Halo..” Nevskia melambatkan sepedanya dan manhayuh sepedanya di belakang.
 “Iya, aku baik saja..!” kata Nevskia tersenyum sumringah.
“Ini lagi jalan-jalan di Wageningen, sekitar kampus.”
“Iya, udah setahun di sini baru sempet jalan-jalan...! Seneng banget, pemandangannya indah banget di sini, pemandangan dan sawah-sawah yang hijau, sungai..ini mau ke sungai, langit yang biru putih bersih, pokoknya seneng banget..!”
“Sama temen-temen, nggak, temen-temen sekelas kok..!”
“Iya, seneng banget..!” kata Nevskia sambil mengamati teman-temannya.
“Nggak ada..ada bunga sih, tapi di rumah kaca, bunga tulip..!”
“Nggak...udah bisa tumbuh, iya bakteriku udah bisa tumbuh alhamdulillah..!”
“Ya..”
“Oke, bye..!”
Nevskia menutup hand phonenya lalu menatapnya sambil tersenyum.
“Kalau tadi kita mempelajari ‘binneveld’ salah satu lahan pertanian yang dikembangkan pada lahan gambut dan tanah lempung, bahkan pasir yang diterbangakan sejak ribuat tahun yang lalu dari gurun, -saya lupa menerangkan-, oke, ini adalah Niew Kanaal, salah satu sungai yang cukup besar dan salah satunya digunakan sebagai saluran irigasi.” terang Steno sambil menunjuk sungai Niew Kanaal.
 “Bagi kalian yang tertarik untuk mengambil dan meneliti bakteri di daerah sini dipersilakan mengambil sampel air di sungai tersebut, mungkin didapati bakteri pengurai pestisida, -yang sayangnya di sini sedikit digunakan pestisida-, atau bakteri penyubur tanah mungkin, atau bakteri lain yang menarik. Arho, mungkin, biasanya dia suka mengambil bakteri di daerah tertentu!” tawar Steno tersenyum.
“Tidak, tidak, trima kasih..!” kata Arho menolak dengan segera.
“Nggak. Nggak trima kasih...!” yang diikuti teman-temannya dari belakangnya.
“Sapinya keren sekali ya, sendirian jalan-jalan di tepi sungai..!” komentar Ine mengalihkan perhatian.
Nevskia tersenyum mengamati tingkah teman-temannya, dan melanjutkan pandangannya mengamati sungai tersebut, airnya jernih memantulkan warna biru putih langit dan rumput di sekitarnya seperti cermin. Airnya juga tenang menunjukkan kemungkinan tumpukkan lumpur di dalamnya atau pun lapisan kerikil batu dan tanah kedap air yang berlapis-lapis yang dalam juga. Tanah di tepi sungai tersebut melandai, sehingga sangat mudah dijangkau oleh manusia yang ingin menyentuh air sungai tersebut atupun hewan ternak.
Tak jauh pandangan Nevskia tersebut, si kembar Icha dan Ichi tak tahan turun dari sepedanya dan segera berfoto dengan latar belakang sungai tersebut.
 “Oke, mari ke sini teman-teman. Dari sini kita akan bagi menjadi dua kelompok, kelompok saya dan kelompok Fruti.  Kelompok saya, terdiri atas Nevskia, Arho, Ige, Yoke, Ichi, dan Yersi. Kelompok Icha terdiri atas Neapo, Alise, Ine, Janna, Fruti, dan Albert. Kita akan berangkat dari sini bersama-sama tetapi melewati jalan yang berbeda-beda. Silahkan kelompok saya nanti akan berangkat dari sini dan kelompok Fruti akan berangkat dari sini. Kita sendiri-sendiri, mencari jalan sendiri-sendiri, dan silahkan nanti yang nyasar-nyasar sendiri,”kata Steno tersenyum, “tapi yang pasti kita akan bertemu di Arboretum Balmonte, siapa pun yang sampai duluan kita akan tunggu di sana.”
***
Steno memandang ke belakang kemudian menyejajari teman-temannya terutama Ichi. “Eh, penelitian Neapo, gimana?”
 “Parah, hasil dari rekombinasi DNA-nya, pas ditumbuhkan lagi nggak sesuai harapan..!” kata Ichi.
 “Itu, biasanya kenapa sih?” tanya Ige memandangi Ichi.
“Biasanya, bakterinya nggak murni, tuh!” kata Ine sambil bengong. “Haha..padahal Neapo baik lho!” . “Wah, berarti numbuhin bakteri lagi dong!”
“Hahaha, iya, murniin lagi dari awal!” kata Steno, mereka tertawa.
 “Eh, kasian Neapo, Neapo baik lho!” kata Ine.
 “Bukan gitu Ne, semua juga ngulang…” kata Arho.
Nevskia mengendarai sepedanya pelan-pelan, Steno sempat menoleh ke bekakang dan tersenyum melihat tampang Nevskia, sambil menyimak pernyataan tersebut. Ia baru mengetahui kalau teman-temannya orangnya baik-baik, kalau Neapo penelitiannya tentang genetika, genetika apa? Nevskia tidak mengetahui. Arho tentang virus tanaman tulip. Alice, Ige, Ine dia penelitiannya tidak tahu. Mereka penelitiannya juga ngulang. Mereka saling menanyakan satu dengan yang lainnya, hilang sudah kesan orang barat yang sendiri-sendiri, kesan berbagai negara yang tidak mau ngurusin orang lain, yang berantakan, yand tidak teratur dan hal-hal yang jelek-jelek. Mungkin setelah ini ia akan lebih menikmati hidupnya di lab. Nevskia mengamati pemandangan yang indah di depannya hamparan yang hijau dan pohon-pohon coklat yang tidak berdaun sambil tersenyum dan langit yang biru dengan awan putih berarak-arak sambil tersenyum.
“Teman-teman kita baik ya, So.” sms Nevskia.
“Hem, iya Nev, temen-temen kita tuh emang baik-baik banget! Dari mana saja kamu!” bales sms Alise.
 “Tapi kok aku gak inget Neapo ya So, cuma inget pas pertama kali ketemu dia waktu pertama kali aku kembali ke lab mikro, setelah satu tahun aku meninggalkan kalian.
Emang iya, dia temen kita?”
“Dia temen kita!”
“Wuoh.. parah kamu, Nev!
Rombongan Steno berhenti. Nevskia melihat Steno yang turun dari sepedanya untuk memperbaiki  sepeda Icha yang rusak, patah rantainya. Steno dengan sigap memperbaiki rantai sepeda tersebut kemudian mengembalikannya kepada Icha. Teman-teman Nevskia setia menunggui sepeda Icha sampai sepeda  Icha selesai diperbaiki. Baru mereka melanjutkan perjalanan. 
“So sweet, persahabatan kita so sweet!” sms Nevskia
“tuh, kan bener, Nevs!” sms Alise. 
***
24.
“Telat. Selamat, Anda sudah telat sejak dua jam yang lalu!” kata Neapo sambil menyalami Steno sambil tersenyum.
 “Hahaha..!” tawa Arho, “Makanya nanya – nanya, kalau nggak ngerti nanya!” kata Steno. “Nanya bapak petani!” kata Arho. “Tapi nanyanya pake turun dari sepeda, biar sopan!” kata Steno. “Biar nggak dimarahin papak yang ditanyai, biar nggak diacung – acungin golok hahaha..!” kata Arho, Arho dan Steno sahut-sahutan. Nevskia tertawa.
 “Kami nyasar, shit..!” kata Steno mengumpat.
*** 
25.

Arboretum Balmonte, merupakan taman yang sangat indah dengan sebuah tanda berupa simbol tiga buah daun yang juga menyerupai mahkota bunga dan sebuh putik yang berada di tengah-tengahnya menjulang dari atas tanah sampai ke atas kurang lebih 3,5 meter, yang kesemuanya berwarna coklat. Taman tersebut sangat indah dengan pohon-pohon yang hijau bahkan berwarna-warni pada musim semi, dari yang hijau muda hingga hijua tua, yang hampir seluruh daunnya menyerupai mahkota bunga berwarna pink, ungu, kuning semua, merah semua, menyerupai bunga sakura di Jepang, katanya, dan beraneka ragam bentuknya. Pohon-pohon tersebut semakin indah karena sebagai tempat hinggap burung-burung, dan  bunga-bunga lain yang sangat indah berwarna-warni seperti digambarkan oleh TV Green Magazine. Dan pada musim semi juga semak-semak juga berwana kuning, putih, merah jambu, merah jambu bercampur putih dan sebagainya. Digunakan untuk bermain ski pada musim dingin beralju, menyisakan pohon-pohonan yang berwarna coklat, tidak berdaun, dan batang-batangnya dan cabang-cabangnnya meruncing-runcing ke atas seperti mencakar langit.
Nevskia sesampainya di Arboretum Balmonte mengamati teman-temannya membuka tikar, duduk-duduk di atasnya sambil meluruskan kaki mereka, sambil beberapa mengeluarkan bekal dan minuman mereka. Beberapa mengobrol ringan. Beberapa bahkan sudah berdiri mengambil foto pohon-pohon yang menggugurkan daunnya, simbol Arboretum Balmonte, dan sebagainya. Nevskia duduk di pojok, mengamati teman-temannya sambil mengenakan masker dengan tisunya, satu hal yang tidak pernah ia tinggalkan, terutama saat ia merasa cemas atau pun menyembunyikan perasaannya.
”Silahkan duduk, kedatangan kami ke sini, pertama – tama...!” kata Steno.
“Nyasar..!!” teriak teman-temannya kompak.
“Jangan gitu lah, pertama-tama untuk saling perkenalan... Yang kedua, kita akan makan-makan. Selamat datang kepada Nevskia Fatimela, gadis kami yang cilik, selamat bergabung untuk jalan-jalan dan menikamati Wageningen. Bersulang untuk Nevskia, cheers!” kata Steno sambil tersenyum.
“Yaa.. trima kasih, cheers!” kata Nevskia membuka tisunya, tersenyum, mengangkat gelasnya yang berisi air teh, tersenyum mengamati teh tersebut, bersulang dengan mereka.
“Oke, mari kita makan-makan!” kata Steno sambil membuka bekal-bekalnya. Setelah dibuka semua bekalnya, ternyata semua adalah makanan Indonesia.
Nevskia berpikir, sambil tersenyum. Winter, Netherland, Wageningen University. Aku tidak tahu ada apa dengan teman-temanku. Ternyata mereka baik-baik. Sekarang aku sedang berkeliling Wageningen, pemandangannya sangat indah di sini, menghibur hatiku yang tak ada yang dapat menggantikan ini, kecuali satu orang di sana. Mereka membuka tikar, mengeluarkan bekal makanan mereka, yang semuanya merupakan makanan khas Indonesia. Kadang aku masih takut dengan mereka kecuali satu orang yang ada di dalam hatiku yang karenanya aku tidak merasa takut. Sekarang aku di sini menikmati makanan mereka, yang tidak tahu ini untuk siapa.
 “Sebenarnya ini atas request Icha, ia minta masakan Indonesia!” kata Steno.
Nevskia mengamati Icha. Icha adalah orang kaya. Hampir menyerupai ketua geng sekaligus ketua kelas bagi kami. Ia punya kekuatan. Ia punya teman-teman yang banyak. Ia punya pengaruh dengan mempunyai jaringan yang luas. Tapi tak apa, yang penting aku bahagia bersama mereka, pikir Nevskia sambil tersenyum. Lalu mencomot pisang gorengnya.
“Pisang gorengnya enak!” kata Nevskia sambil menguliti dan makan kulit pisang goreng, berkata pada dirinya sendiri.
“Wajiknya enak!” berkata pada dirinya sendiri, sambil menikmati wajik dan menjilati diantara jari-jarinya.
“Risolesnya juga enak!” berkata pada dirinya sendiri, sambil makan risoles.
Nevskia menghabiskan dua pisang goreng, satu wajik, dua risoles, satu bolu kukus, dan beberapa kerupuk tradisional.
“Silakan makan dulu, Nevs..” kata Neapo, membuka rantang bekal nasi. Dan mengambilkan sepiring untuk Nevskia.
Nevskia menatap piring tersebut, kemudian tersenyum kepada Neapo.
 “Ayam gorengnya enak So!” kata Nevskia.
“Iyalah, sapa dulu yang masak!” kata Alise sambil mengacungkan jempolnya.
“Emang kamu yang masak?”
“Nggak!” kata Alise menggelengkan kepalanya.
Oh, jadi kalau pingin baik, seperti Neapo itu makannya cuma sayur sop sama lele goreng.. ” kata Nevskia dalam hati, ketika melihat Neapo lewat, Neapo lewat sambil membawa piring isi sayur sop sama lele goreng.
 “Masakan Indonesia, pecel lelenya enak..!” kata Fruti.
“Tempe enak..!” kata Icha.
 “Sayur sop enak..!” kata Ine.
“Nasi goreng enak..!”kata Steno.
Nasi Pecel enak..!” kata Albert.
“Hahaha.., masakan Indonesia enak!” kata mereka tertawa, lalu menyendokkan makanan ke mulut mereka. Nevskia tertawa mengamati mereka.
“Pindah aja, pindah!” kata Arho, Neapo, Steno, dan Albert yang akhirnya mereka kompak berdiri dan setelah tikat mereka berantakan, mereka mengumpulkan sisa sampah, kemudian menggotong tikar mereka untuk dipindahkan ke tempat yang baru lagi, -setelah mengusir sepasang kekasih yang sedang duduk berduan, secara sengaja-, mereka meletakkan tikar, tas-tas, barang – barang bawaan dan makanan, mereka lemparkan begitu saja, setelah perut kenyang mereka segera bermain.
“Ambil hand phone-nya!” kata Neapo.
“Hei, balikin sini!” kata Arho.
“Woi-woi!” kata Albert.
“Ah, tuh, kan kena mereka!” kata Albert. Hand phone Arho mengenai tikar gerombolannya Icha.
“Woi, meskipun hand phone gue jadul, jangan dilempar-lempar, merusak lingkungan..!” kata Arho pasrah.
“Kan lu, yang nyuruh gue buat mainin hand phone lu..!”kata Neapo.
Arho teringat percakapan itu, dan pasrah.
“Foto, yuk, foto!” ajak Albert pada Nevskia, sambil memasangkan kamera hapenya pada Nevskia dan dia sendiri. Cepret.. Ige ikut foto bersama mereka. Mereka foto dengan berbagai gaya, gaya dengan bibir monyong dan dua jari tangan di depan bibir, foto mengedipkan sebelah matanya sambil berbaring, foto sok cool biasa. “Kenapa kamu selalu menutupi mulutmu pakai tisu Nevskia?” tanya Albert, “takut panas,hitam!”jawab Nevskia, Albert dan Ige tertawa.
 “Aku tidak mau kembali ke lab, karena aku pingin nangis kalau aku di lab.. ” kata Yersi, terdengar curhatan dari tikar sebelah. “Bakteriku nggak mau tumbuh..” kata  Yersi lagi. “Aku tidak mau ke lab karena lab bikin stres.” kata Fruti. “Aku juga, nggak mau ke lab karena lab bikin stress.” kata Icha. “Aku nggak mau ke lab, karena aku kalau ke lab, aku selalu dikejar – kejar… “Ine belum selesai melanjutkan kata – katanya, sudah segera berdiri karena ada bola nyasar lagi di situ.
Prak..! Hand phone tepat mengenai piring. Ine dan semua cewek yang ada di situ bubar sambil tertawa – tawa. Alise tertawa tanpa mengeluarkan kata – kata, sampai menangis, sambil tutupan slayer, tapi tangan kirinya masih sempat menyembunyikan jaket Steno ke dalam tasnya. Potongan rumput kering dan ranting kering, yang sepertinya tadi mereka kumpulkan selama di jalan, mulai berhamburan kemana – mana, “Tawuran dan perang saudara terjadi, hingga rumput dan ranting kering ke mana – mana!” teriak Alise sambil tertawa.
Rumput sampai ke tikar Albert. Albert, Ige, dan Nevskia lari, “Aish..!” umpat Nevskia yang hilang sebelah sepatunya, ia cari kemana-mana tapi tidak ada. Tapi perhatian Nevskia, tertuju di atas pohon..
“1, 2, 3.. Hup! Hahaha.. terdengar sangat melucukan, tas nyangsang di ranting pohon!” teriak Arho dari bawah pohon, sambil menuding ke arah tas Neapo yang dilemparkan ke pohon. Setelah itu jaket Arho buru – buru di ambil oleh teman–teman cowoknya dan dilemparkan ke pohon juga. Nevskia melihat mereka. “Hahaha..itu, jaket si Arho diinjak burung dan dikotorin!” teriak Icha sambil menuding jaket Arho, Arho marah-marah menatap jaketnya. Fruti juga menuding – nuding jaket Arho.  Albert tertawa – tawa terbahak-bahak, Steno celingukkan mencari jaketnya, tapi ia masih sempat menertawai Arho terlebih dahulu.
 “Udah, udah yuk, pulang!” kata Neapo, setelah semua melempar-lempat tasnya dengan sepatu dan berhasil menjatuhkan tas tersebut. Ia membersihkan tas tersebut. Steno masih celingukan mencari jaketnya sambil memunguti kulit rumput, tanting, dan sampah yang lain. Alise mengambil dan pura – pura sibuk membersihkan slayernya yang kena rumput kering. Icha dan Fruti memberesi sisa makanan. Nevskia mencari sebelah sepatunya sambil mengamati pertunjukkan di depannya, Ine, Yersi, tertawa melihat mereka.


“Woi, rumputnya dibersihkan, sekarang!” teriak Steno menunjuk sampah yang berserakan di depannya, di atas tikar dan di atas rumput-rumput.

Arho, Neapo, Albert dan kawan-kawan segera menoleh ke Steno dan menunduk membersihkan rumput-rumput tersebut. “Tapi jaketku belum ke ambil!” kata Arho. “Sepatuku juga belum ketemu!” kata Steno. “Hah, sepatumu ilang No?” tanya Arho. “Tuh, di Alise tuh!” kata Albert. Arho menatap Alise.
Diikuti Steno, Neapo menatap Alise.
”Apa, nggak..!” kata Alise sambil menggerak-gerakkan tangannya.
“Jangan bohong, kasih Se!” kata Albert.
Ah, Albert mah nggak bisa diajak kompromi!” kata Alise ngambek. Mengambil jaketnya Steno di tasnya lalu melemparkannya pada Steno.
Arho dan Neapo melempar-lempar jaket itu kembali dengan sepatu mereka, sebelum akhirnya salah satu Neapo memanjat pohon tersebut dan mengambil jaket tersebut yang nyangkut di ranting.

“Ah, ini dia sepatuku,” kata Nevskia mengamati sepatunya, yang ia temukan setelah semua tikar digulung.
 “Pulang-pulang yuk, pulang!” kata Arho. Arho, Steno, Albert dan Neapo kabur duluan, membiarkan para cewek membersihkan lokasi, pura – pura tidak melihat kalau mereka lagi bersih – bersih.
“Bentar – bentar, nungguin mereka bentar!” kata Arho, setelah mereka berjalan jauh, sampai tanjakkan “mbantuin mereka bawa tikar!” kata Arho lagi sambil menggigit – gigit rumput.
 Nevskia,” panggil Arho yang melihat Nevskia kerepotan memmbawa tikar, hendak membantu membawa tikar tersebut.
Semua cowok berhenti dan menoleh kepada Nevskia, yang sudah ada di belakang mereka. Nevskia menoleh ke arah Arho sambil tertawa, tanpa mengeluarkan suara, hanya memperlihkan gigi, dan manis wajahnya.
Arho menelan ludahnya, tidak jadi memanggil Nevskia, dia menoleh ke depan lagi, grogi, begitu juga cowok – cowok yang lainnya.
“Kok bisa sih tikar nggak dibawa, Neapo, masukkin kembali ke tasmu!” kata Janna sambil membanting tikar-tikar yang ada ditangannya ke atas sadel sepedanya.
Semua cowok menoleh dan mengamati Icha, segera memasukkan tikar ke dalam tas-tas mereka. Nevskia tertawa.
Akhirnya mereka pulang lagi ke kampus bersama-sama, bertekad untuk mencari dan menyusuri jalan setapak baru lagi, nyasar lagi, karena menemui jalan buntu, “Kita tersesat bersama Albert lagi, Albert tukang macet.” kata Neapo.
"Ckckck," Janna yang masih kelihatan keren ala pembalap sepeda, menggeleng-gelengkan kepalanya tapi tertawa juga.
Mereka menghindari jalan buntu tersebut dengan putar balik lagi. Mereka tiba-tiba harus melewati dan menyebrangi sungai yang terjal. Mereka harus menuntun sepeda mereka. Neapo dan Ine tertawa terpingkal – pingkal, mereka tertawa terpingkal – pingkal sampai memegangi perutnya lagi, “Makanan Indonesia yang banyak yang kita makan habis sampai di sini, gara-gara kita kehabisan energi nyasar di sini!” kata Neapo.
Mereka melewati pemukiman penduduk, jadi bahan tertawaan ibu–ibu, Fruti, Nevskia, dan Ine tertawa masam, sambil menuntun sepeda, tampang mereka sudah acak-acakan dan dengan lumpur di mana-mana.
*** 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar