22.
Nevskia mengendarai sepedanya menuju ke
gedung Forum tempat pak James berada.
Sepanjang perjalanan ia agak heran karena ia mendapati gedung-gedung yang ia
lewati sepi. Tapi ia tak memperdulikannya. Nevskia
tetap melanjutkan mengayuh sepedanya sambil terseyam-senyum, tersenyum teringat
kebodohannya di depan pak James dan
tersenyum karena masalah pertumbuhan bakterinya sudah terpecahkan. Ia
sekali-sekali melirik pada hand bag-nya, yang berisi revisi draft proposal
esainya yang akan ia serahkan kepada pak James,
dan tempat pensilnya yang berisi perlengkapan laboratoriumnya, korek gas,
bolpon, cutter, gunting, marker, lem, selotip, dan alkohol. Ia merasa aman
dengan keberadaan tempat pensil tersebut, sehingga kemana pun ia pergi, ia tak
perlu membawa perlengkapan persenjataan untuk melindungi diri, ia sudah merasa
cukup aman dengan peralatan yang ada di tempat pensilnya.
Pun sampai di depan gedung Forum, Nevskia
tidak mendapati banyak orang. Nevskia
hanya mendapati segerombolan teman-teman labnya yang membawa dan menunutun
sepeda mereka. Yoke mengenakan tas
merah, jaket kulit hitam, celana jeans dan sepatu sneaker, menuntun sepedanya
yang juga berwarna merah. Alise yang
mengenakan jaket biru terang, mengenakan celana jeans, sepatu coklat, jilbab
putih dan kaca mata hitam, berdiri di depan sepadanya yang barusan ia tegakkan.
Janna seorang atlet Nigeria yang
kuliah di jurusan Mikrobiologi Pangan mengenakan legging hitam, rok pendek
sepahanya warna neon hijau terang, jaket hitam lengan panjang, dan inner yang
juga merupakan jilbab warna hitam, dan kaca mata hitam nangkring di atas
sepedanya menunjukkan ibu jari dan jari tengah tangan kanannya membentuk huruf
V, berpose di depan kamera. Steno
yang merupakan keturunan China mengenakan jaket hoody tebal warna hitam
garis-garis ungu kecil berdiri di belakang Janna
mengamati Janna sambil meyilangkan tangannya di dadanya, sambil tersenyum. Ine dan Fruti yang masing-masing mengenakan sweater wol abu-abu tebal, yang
dari jauh kelihatan hampir seragam, tetapi ternyata berbeda model, berdiri di
samping jauh Steno sedang
mengobrolkan sesuatu. Arho yang
mengenakan rain jacket merah berdiri di bawah pohon mengahadap ke kiri
sepertinya sedang mengomentari sesuatu, di belakangnya ada Neapo, dan di depannya ada Albert
yang juga mengamati ke arah obyek yang sedang di amati Arho.
Nevskia tersenyum sambil membunyikan
belnya untuk teman-temannya. Di kepalanya menanyakan sedang apa teman-temannya
berkumpul di situ. Ia sangat senang mengamati mereka. Alangkah kompaknya.
Meskipun ia belum bisa menjadi bagian dari kelompok tersebut, dan ia tidak tahu
apakah ia bisa menjadi bagian dari kelompok tersebut, tapi sekarang Nevskia
sudah mulai menyukai mereka, dan sudah merasakan bahwa sesungguhnya mereka baik
pada Nevskia. Tapi toh akhirnya saat ini pun ia tidak bisa bergabung dengan
mereka, ia hanya tersenyum dan melambaikan tangan kepada mereka, Nevskia lebih memilih menemui pak James
untuk menyerahkan revisi draft proposalnya.
“Nevskia ikut yuk,” teriak Ine
melambaikan tangannya pada Nevskia.
“Aku ada janji dengan pak James!” teriak Nevskia tersenyum.
“Iya Nevskia, nggak apa-apa nanti habis nemuin dosen ikut aja!” teriak Ine.
“Ayolah Nevskia, gabung dengan kita jalan-jalan...”
“Kita tunggu di sini ya!”
Nevskia tersenyum kepada mereka.
“Emang kemarin kamu nggak sms Jann?” tanya Neapo.
“Sms.”
“Dibales nggak Jan, smsnya?”
tanya Neapo.
“Nggak, spertinya nggak dibuka malah,” kata Janna menggeleng.
Nevskia masih tersenyum-senyum sebagai penghormatan atas ajakan dan sapaan
mereka, selanjutnya ia membalikkan badan dan berlari memasuki gedung.
Sepi, tidak ada satu makhluk pun di gedung itu. Beberapa ruangan tertutup
dan di kunci. Nevskia hendak masuk ke ruangan pak James tapi dikunci, sepi,
lampunya dimatikan. Pun ruangan di kiri-kanan samping pak James sepi, dan
lampunya dimatikan. “Kok sepi,” batin Nevskia. Ia mengingat-ingat sesuatu, “Ini
hari libur ya?” Nevskia mengamati hand phonenya. “Oia, ini kan tanggal merah
hari buruh Internasional.” Nevskia mengamati sekitar dengan tanpa kontrol,
“Mana aku tadi udah bilang sama temen-temen kalau aku mau nemuin dosen lagi..”
Nevskia tertawa geli.
Nevskia lalu menuruni tangganya.
Sampai di bawah, Nevskia mengamati teman-temannya, yang sudah bertambah
banyak, dengan menahan malu, ia bersembunyi di balik pintu dan mengamati
teman-temannya. Sudah ada Ige di situ
mengenakan kaos lengan panjang warna hijau neon, celana jeans, dan sepatu kets
putih sedang menelepon seseorang. Di depannya sudah ada Steno yang tinggi menjulang mengenakan jaket abu-abu, celana
coklat, sepatu putih dan mencangklong tas ransel, mengamati Ige yang sedang
menelepon. Sudah ada si kembar Icha dan Ichi juga, Nevskia akhirnya keluar
dengan malu-malu, “Libur ya..?” kata Nevskia sambil tersenyum sambil berjalan
mendekati mereka.
“Libur ya Nevskia..? tanya Arho, Neapo tersenyum mengamati Nevskia. “Tadi
aku sudah mau memperingatkan, lho kok Nevskia nemuin pak James, kan libur, tapi aku nggak jadi..!” kata Ine. “Iya, tadi aku juga mau ngingetin, Nevskia ini libur, juga tidak jadi...” kata Alise memenjepkan bibirnya, mengejak Nevskia. Yang lain mengamati Nevskia
sambil tersenyum-senyum pada Nevskia
“Makanya tadi aku lewat gedung sepi, agak aneh sih, kok sepi,
ternyata libur..” kata Nevskia tertawa.
“Ya udah ayo ikut saja Nevskia, ayo kita berangkat!” kata Steno tertawa,
lalu menaiki sepedanya.
“Yok, ayok..!” kata Ine dan Alise menaiki sepedanya, lalu hampir
bersamaan melajukan sepedanya ke depan.
“Pergi
dengan Nevskia itu sesuatu..” kata Janna yang bersepeda
menjajari Nevskia, Janna menggeleng-gelengkan kepalanya mengamati penampilan
Nevskia, sementara yang lain mengenakan pakaian sport, Nevskia mengenakan
skinny pant warna hitam, vintage skirt warna coklat muda selututnya, dan kemeja
putih, dan sepatu fantofel coklat tua, dan pakai syal abu-abu lagi, sedangkan
hand bagnya bersisi buku-bukunya. Nevskia tertawa sendiri mengamati
penampilannya.
“Emang aneh banget Nevskia,” kata Alise yang melewati Nevskia,
mendahului bersama Ine.
Nevskia tersenyum.
“Jadi Wageningen pada awalnya merupakan daerah pertanian, dan itulah yang
melatarbelakangi munculnya Wageningen University." Steno berdiri,
setelah turun dari sepedanya, menunjuk sawah yang ada di sekitarnya sambil
keterangan pada teman-temannya.
Mereka berhenti di tengah jalan yang merupakan persawahan yang luas
di kanan-kiri mereka. “Kita istirahat dulu saja di sini,” perintah Steno.
Nevskia turun dan menegakkan sepedanya di tengah jalan begitu saja,
kemudian ia juga berdiri di tengah jalan menyilangkan kakinya mengamati
teman-temannya, tidak tahu apa yang akan ia lakukan di tengah teman-temannya.
Semua teman-teman Nevskia turun dari sepedanya dan bersliweran di antara
Nevskia menikmati pemandangan tersebut. Alise ngobrol dengan Ine,
Albert eksyen di depan kamera dengan latar belakang sawah yang menghijau
dan pohon-pohon yang menggugurkan daunya, meninggalkan warna coklat yang
berjajar-jajar yang meruncing-runcing ujungnya di tepi jalan, Steno
menuntun sepedanya di pinggir sawah menyusuri dan mengamati sawah tepat di
pinggirnya. Neapo berdiri menyedekapkan kedua tanganya di dadanya
mengamati pemadangan di sekitarnya, sedangkan Neapo bergerombol dengan Janna,
Yoke, Fruti, dan Ige entah mendiskusikan apa.
“Kacang
– kacang!” tawar Arho.
“Mau..!” kata
Nevskia langsung melaju dan mencomot kacang yang berada di
tangan Arho tersebut.
“Roti –
roti!” tawar Fruti.
“Mau dong..!” kata Nevskia
sambil memasukan kacang kedalam mulutnya, lalu bergerak ke arah fruti langsung mencomot roti yang dibawa Fruti.
“Wah, Nevskia ternyata doyan
makan.” komentar Neapo.
Nevskia menghadap ke Neapo
lalu tertawa, memamerkan gigi-giginya yang putih, tanpa mengeluarkan suara. Nevskia, Arho, dan Fruti duduk di
rumput. Lalu mereka duduk secara otomatis membentuk lingkaran.
“Eh, ini
yang ngrencanain siapa sih, kok aku nggak tahu!” tanya Nevskia bertanya kepada Alise,
sambil makan kacangnya.
Semua orang berpandang – pandangan.
“Yang bawa
tikar Neapo.”
“Yang
bertanggung jawab nyiapin sepeda dan kelengkapannya Albert dan Steno.”
“Yang
nyiapin makanan Fruti.”
“Yang nyiapin
sms untuk woro – woro temen – temen Janna.”
terang mereka keroyokkan.
“Emang kamu
nggak dapat sms, Nev?” tanya Janna, sambil memasukkan kacang ke
mulutnya.
“Nggak! Eh, atau aku dapet tapi nggak kubaca? Nggak tahu ding..!” Nevskia menunduk malu.
“Huu..!”
Janna mendorong punggung Nevskia.
Nevskia tersenyam –senyum.
“Oh..pantes,
tadi ada anak yang libur – libur nemuin dosen.. nggak jelas gitu sih!” terang Alise lagi sambil
makan kacang goreng.
"Wakakak!" yang lain tertawa ngakak.
“Aah…!” kata Nevskia tersipu malu, pipinya bersemu
merah.
***
23.
Nevskia masih senyam-senyum mengamati
teman-temannya dan tersenyum mengingati kebodohannya sendiri masuk libur-libur.
Sepanjang perjalanan ia mendengarkan cerita teman-temannya. Steno menjelaskan bahwa perjalanan masih
harus menempuh Niew Kanaal, Arboretum Balmonte, dan Geertjesweg, jadi Nevskia masih punya banyak waktu untuk
mengenal teman-temannya. Sepanjang perjalanan itu pula yang banyak dibahas
adalah permasalah lab, kegagalan penelitian, sampai mana penelitian,
penelitiannya siapa yang gagal, dan penelitiannya siapa sampai mana. Juga
sedikit membahas tugas esai dan dosen pembimbing dosen esai. Nevskia beberapa kali kena pertnyaan,
karena ia dapat pak James yang cukup
terkenal di seantero kampus.
Selebihnya Nevskia lebih banyak
mendengarkan sambil tersenyum-senyum. Kali ini momennya berbeda, ia benar-benar
pergi dengan teman yang ditakutinya, teman yang selama ini dijauhinya, teman
yang kalau bisa ia tidak bersentuhan dengan mereka, karena mereka orang-orang
borju, orang-orang berduit, orang-prang yang nge-geng, dan semua yang ditakuti Nevskia. Tapi ternyata mereka baik,
mereka perhatian dengan teman, dan kesan galak yang Nevskia temui waktu pertama kali Nevskia berjumpa dengan mereka adalah kosong sama sekali kali ini.
Tapi sepanjang sejarah, Nevskia
mengingat-ingat Neapo, Nevskia tidak
menemukannya kalau ia punya teman Neapo, dimana duduknya dia waktu kuliah,
dimana dia dalam kehidupan kampus sehari-hari, Nevskia tidak mengingatnya. Nevskia
mengamati Neapo dan tersenyum saat
mengamatinya sementara Neapo asik
bercanda dan mengobrol dengan teman-temanya.
“Halo..” Nevskia melambatkan
sepedanya dan manhayuh sepedanya di belakang.
“Iya, aku baik saja..!” kata Nevskia
tersenyum sumringah.
“Ini lagi jalan-jalan di Wageningen, sekitar kampus.”
“Iya, udah setahun di sini baru sempet jalan-jalan...! Seneng banget,
pemandangannya indah banget di sini, pemandangan dan sawah-sawah yang hijau,
sungai..ini mau ke sungai, langit yang biru putih bersih, pokoknya seneng
banget..!”
“Sama temen-temen, nggak, temen-temen sekelas kok..!”
“Iya, seneng banget..!” kata Nevskia
sambil mengamati teman-temannya.
“Nggak ada..ada bunga sih, tapi di rumah kaca, bunga tulip..!”
“Nggak...udah bisa tumbuh, iya bakteriku udah bisa tumbuh alhamdulillah..!”
“Ya..”
“Oke, bye..!”
Nevskia menutup hand phonenya lalu
menatapnya sambil tersenyum.
“Kalau tadi kita mempelajari ‘binneveld’ salah satu lahan pertanian yang
dikembangkan pada lahan gambut dan tanah lempung, bahkan pasir yang
diterbangakan sejak ribuat tahun yang lalu dari gurun, -saya lupa menerangkan-,
oke, ini adalah Niew Kanaal, salah satu sungai yang cukup besar dan salah
satunya digunakan sebagai saluran irigasi.” terang Steno sambil menunjuk sungai Niew Kanaal.
“Bagi kalian yang tertarik untuk mengambil dan meneliti bakteri di
daerah sini dipersilakan mengambil sampel air di sungai tersebut, mungkin
didapati bakteri pengurai pestisida, -yang sayangnya di sini sedikit digunakan
pestisida-, atau bakteri penyubur tanah mungkin, atau bakteri lain yang
menarik. Arho, mungkin, biasanya dia
suka mengambil bakteri di daerah tertentu!” tawar Steno tersenyum.
“Tidak, tidak, trima kasih..!” kata Arho
menolak dengan segera.
“Nggak. Nggak trima kasih...!” yang diikuti teman-temannya dari
belakangnya.
“Sapinya keren sekali ya, sendirian jalan-jalan di tepi sungai..!” komentar
Ine mengalihkan perhatian.
Nevskia tersenyum mengamati tingkah
teman-temannya, dan melanjutkan pandangannya mengamati sungai tersebut, airnya
jernih memantulkan warna biru putih langit dan rumput di sekitarnya seperti
cermin. Airnya juga tenang menunjukkan kemungkinan tumpukkan lumpur di dalamnya
atau pun lapisan kerikil batu dan tanah kedap air yang berlapis-lapis yang
dalam juga. Tanah di tepi sungai tersebut melandai, sehingga sangat mudah
dijangkau oleh manusia yang ingin menyentuh air sungai tersebut atupun hewan
ternak.
Tak jauh pandangan Nevskia tersebut,
si kembar Icha dan Ichi tak tahan turun dari sepedanya dan
segera berfoto dengan latar belakang sungai tersebut.
“Oke, mari ke sini teman-teman. Dari sini kita akan bagi menjadi dua
kelompok, kelompok saya dan kelompok Fruti.
Kelompok saya, terdiri atas Nevskia,
Arho, Ige, Yoke, Ichi, dan Yersi.
Kelompok Icha terdiri atas Neapo, Alise, Ine, Janna, Fruti, dan Albert. Kita akan berangkat dari sini
bersama-sama tetapi melewati jalan yang berbeda-beda. Silahkan kelompok saya
nanti akan berangkat dari sini dan kelompok Fruti akan berangkat dari sini. Kita
sendiri-sendiri, mencari jalan sendiri-sendiri, dan silahkan nanti yang
nyasar-nyasar sendiri,”kata Steno
tersenyum, “tapi yang pasti kita akan bertemu di Arboretum Balmonte, siapa pun
yang sampai duluan kita akan tunggu di sana.”
***
Steno memandang ke belakang kemudian menyejajari
teman-temannya terutama Ichi. “Eh, penelitian Neapo, gimana?”
“Parah, hasil dari rekombinasi DNA-nya, pas ditumbuhkan lagi nggak
sesuai harapan..!” kata Ichi.
“Itu, biasanya kenapa sih?” tanya Ige
memandangi Ichi.
“Biasanya, bakterinya nggak murni, tuh!” kata Ine sambil bengong. “Haha..padahal Neapo baik lho!” . “Wah, berarti numbuhin bakteri lagi dong!”
“Hahaha, iya, murniin lagi dari awal!” kata Steno, mereka tertawa.
“Eh, kasian Neapo, Neapo baik lho!” kata Ine.
“Bukan gitu Ne, semua juga
ngulang…” kata Arho.
Nevskia mengendarai sepedanya
pelan-pelan, Steno sempat menoleh ke
bekakang dan tersenyum melihat tampang Nevskia,
sambil menyimak pernyataan tersebut. Ia baru mengetahui kalau teman-temannya
orangnya baik-baik, kalau Neapo
penelitiannya tentang genetika, genetika apa? Nevskia tidak mengetahui. Arho
tentang virus tanaman tulip. Alice, Ige,
Ine dia penelitiannya tidak tahu. Mereka penelitiannya juga ngulang. Mereka
saling menanyakan satu dengan yang lainnya, hilang sudah kesan orang barat yang
sendiri-sendiri, kesan berbagai negara yang tidak mau ngurusin orang lain, yang
berantakan, yand tidak teratur dan hal-hal yang jelek-jelek. Mungkin setelah
ini ia akan lebih menikmati hidupnya di lab. Nevskia mengamati pemandangan yang indah di depannya hamparan yang
hijau dan pohon-pohon coklat yang tidak berdaun sambil tersenyum dan langit
yang biru dengan awan putih berarak-arak sambil tersenyum.
“Teman-teman
kita baik ya, So.” sms Nevskia.
“Hem, iya Nev,
temen-temen kita tuh emang baik-baik banget! Dari mana saja kamu!” bales sms Alise.
“Tapi kok aku gak inget Neapo ya So,
cuma inget pas pertama kali ketemu dia waktu pertama kali aku kembali ke lab
mikro, setelah satu tahun aku meninggalkan kalian.”
“Emang iya, dia temen kita?”
“Dia temen
kita!”
“Wuoh..
parah kamu, Nev!”
Rombongan Steno
berhenti. Nevskia melihat Steno yang turun dari sepedanya untuk
memperbaiki sepeda Icha yang rusak, patah rantainya. Steno dengan
sigap memperbaiki rantai sepeda tersebut kemudian mengembalikannya kepada Icha.
Teman-teman Nevskia setia menunggui sepeda Icha sampai
sepeda Icha selesai diperbaiki. Baru mereka melanjutkan
perjalanan.
“So sweet,
persahabatan kita so sweet!” sms Nevskia.
“tuh, kan
bener, Nevs!” sms Alise.
***
24.
“Telat.
Selamat, Anda sudah telat sejak dua jam yang lalu!” kata Neapo sambil menyalami Steno sambil tersenyum.
“Hahaha..!”
tawa Arho, “Makanya nanya – nanya,
kalau nggak ngerti nanya!” kata Steno. “Nanya bapak petani!” kata
Arho. “Tapi nanyanya pake turun dari sepeda,
biar sopan!” kata Steno. “Biar nggak
dimarahin papak yang ditanyai, biar nggak diacung – acungin golok hahaha..!”
kata Arho, Arho dan Steno sahut-sahutan. Nevskia tertawa.
“Kami nyasar, shit..!” kata Steno mengumpat.
***
25.
Arboretum Balmonte, merupakan taman yang
sangat indah dengan sebuah tanda berupa simbol tiga buah daun yang juga
menyerupai mahkota bunga dan sebuh putik yang berada di tengah-tengahnya menjulang
dari atas tanah sampai ke atas kurang lebih 3,5 meter, yang kesemuanya berwarna
coklat. Taman tersebut sangat indah dengan pohon-pohon yang hijau bahkan
berwarna-warni pada musim semi, dari yang hijau muda hingga hijua tua, yang
hampir seluruh daunnya menyerupai mahkota bunga berwarna pink, ungu, kuning
semua, merah semua, menyerupai bunga sakura di Jepang, katanya, dan beraneka
ragam bentuknya. Pohon-pohon tersebut semakin indah karena sebagai tempat
hinggap burung-burung, dan bunga-bunga
lain yang sangat indah berwarna-warni seperti digambarkan oleh TV Green
Magazine. Dan pada musim semi juga semak-semak juga berwana kuning, putih, merah
jambu, merah jambu bercampur putih dan sebagainya. Digunakan untuk bermain ski
pada musim dingin beralju, menyisakan pohon-pohonan yang berwarna coklat, tidak
berdaun, dan batang-batangnya dan cabang-cabangnnya meruncing-runcing ke atas
seperti mencakar langit.
Nevskia sesampainya di Arboretum Balmonte
mengamati teman-temannya membuka tikar, duduk-duduk di atasnya sambil
meluruskan kaki mereka, sambil beberapa mengeluarkan bekal dan minuman mereka. Beberapa
mengobrol ringan. Beberapa bahkan sudah berdiri mengambil foto pohon-pohon yang
menggugurkan daunnya, simbol Arboretum Balmonte, dan sebagainya. Nevskia duduk
di pojok, mengamati teman-temannya sambil mengenakan masker dengan tisunya,
satu hal yang tidak pernah ia tinggalkan, terutama saat ia merasa cemas atau
pun menyembunyikan perasaannya.
”Silahkan
duduk, kedatangan kami ke sini, pertama – tama...!” kata Steno.
“Nyasar..!!”
teriak teman-temannya kompak.
“Jangan
gitu lah, pertama-tama untuk saling perkenalan... Yang kedua, kita akan
makan-makan. Selamat datang kepada Nevskia
Fatimela, gadis kami yang cilik, selamat bergabung untuk jalan-jalan dan
menikamati Wageningen. Bersulang untuk Nevskia,
cheers!” kata Steno sambil tersenyum.
“Yaa..
trima kasih, cheers!” kata Nevskia membuka
tisunya, tersenyum, mengangkat gelasnya yang berisi air teh, tersenyum mengamati teh tersebut, bersulang dengan
mereka.
“Oke,
mari kita makan-makan!” kata Steno sambil
membuka bekal-bekalnya. Setelah dibuka semua bekalnya, ternyata semua adalah
makanan Indonesia.
Nevskia berpikir,
sambil tersenyum. Winter, Netherland, Wageningen University. Aku tidak tahu ada
apa dengan teman-temanku. Ternyata mereka baik-baik. Sekarang aku sedang
berkeliling Wageningen, pemandangannya sangat indah di sini, menghibur hatiku yang
tak ada yang dapat menggantikan ini, kecuali satu orang di sana. Mereka membuka
tikar, mengeluarkan bekal makanan mereka, yang semuanya merupakan makanan khas Indonesia.
Kadang aku masih takut dengan mereka kecuali satu orang yang ada di dalam
hatiku yang karenanya aku tidak merasa takut. Sekarang aku di sini menikmati
makanan mereka, yang tidak tahu ini untuk siapa.
“Sebenarnya ini atas request Icha, ia minta masakan Indonesia!” kata Steno.
Nevskia mengamati
Icha. Icha adalah orang kaya. Hampir
menyerupai ketua geng sekaligus ketua kelas bagi kami. Ia punya kekuatan. Ia punya
teman-teman yang banyak. Ia punya pengaruh dengan mempunyai jaringan yang luas.
Tapi tak apa, yang penting aku bahagia bersama mereka, pikir Nevskia sambil tersenyum. Lalu mencomot
pisang gorengnya.
“Pisang
gorengnya enak!” kata Nevskia sambil
menguliti dan makan kulit pisang goreng, berkata pada dirinya sendiri.
“Wajiknya
enak!” berkata pada dirinya sendiri, sambil menikmati wajik dan menjilati
diantara jari-jarinya.
“Risolesnya
juga enak!” berkata pada dirinya sendiri, sambil makan risoles.
Nevskia
menghabiskan dua pisang goreng, satu wajik, dua risoles, satu bolu kukus, dan beberapa
kerupuk tradisional.
“Silakan
makan dulu, Nevs..” kata Neapo, membuka rantang bekal nasi. Dan mengambilkan
sepiring untuk Nevskia.
Nevskia
menatap piring tersebut, kemudian tersenyum kepada Neapo.
“Ayam gorengnya enak So!” kata Nevskia.
“Iyalah,
sapa dulu yang masak!” kata Alise
sambil mengacungkan jempolnya.
“Emang
kamu yang masak?”
“Nggak!”
kata Alise menggelengkan kepalanya.
“Oh, jadi kalau pingin baik, seperti Neapo itu
makannya cuma sayur sop sama lele goreng.. ” kata Nevskia dalam hati, ketika melihat Neapo lewat, Neapo lewat sambil
membawa piring isi sayur sop sama lele goreng.
“Masakan Indonesia, pecel lelenya enak..!”
kata Fruti.
“Tempe
enak..!” kata Icha.
“Sayur sop enak..!” kata Ine.
“Nasi
goreng enak..!”kata Steno.
“Nasi
Pecel enak..!” kata Albert.
“Hahaha..,
masakan Indonesia enak!” kata mereka tertawa, lalu menyendokkan makanan ke
mulut mereka. Nevskia tertawa
mengamati mereka.
“Pindah
aja, pindah!” kata Arho, Neapo, Steno, dan Albert yang
akhirnya mereka kompak berdiri dan setelah tikat mereka berantakan, mereka
mengumpulkan sisa sampah, kemudian menggotong tikar mereka untuk dipindahkan ke
tempat yang baru lagi, -setelah mengusir sepasang kekasih yang sedang duduk
berduan, secara sengaja-, mereka meletakkan tikar, tas-tas, barang – barang
bawaan dan makanan, mereka lemparkan begitu saja, setelah perut kenyang mereka
segera bermain.
“Ambil
hand phone-nya!” kata Neapo.
“Hei,
balikin sini!” kata Arho.
“Woi-woi!”
kata Albert.
“Ah,
tuh, kan kena mereka!” kata Albert. Hand
phone Arho mengenai tikar
gerombolannya Icha.
“Woi,
meskipun hand phone gue jadul, jangan dilempar-lempar, merusak lingkungan..!”
kata Arho pasrah.
“Kan
lu, yang nyuruh gue buat mainin hand phone lu..!”kata Neapo.
Arho
teringat percakapan itu, dan pasrah.
“Foto,
yuk, foto!” ajak Albert pada Nevskia, sambil memasangkan kamera
hapenya pada Nevskia dan dia sendiri.
Cepret.. Ige ikut foto bersama
mereka. Mereka foto dengan berbagai gaya, gaya dengan bibir monyong dan dua
jari tangan di depan bibir, foto mengedipkan sebelah matanya sambil berbaring,
foto sok cool biasa. “Kenapa kamu
selalu menutupi mulutmu pakai tisu Nevskia?”
tanya Albert, “takut
panas,hitam!”jawab Nevskia, Albert dan Ige tertawa.
“Aku tidak mau kembali ke lab, karena aku
pingin nangis kalau aku di lab.. ” kata Yersi,
terdengar curhatan dari tikar sebelah. “Bakteriku nggak mau tumbuh..” kata Yersi
lagi. “Aku tidak mau ke lab karena lab bikin stres.” kata Fruti. “Aku juga, nggak mau ke lab karena lab bikin stress.” kata Icha. “Aku nggak mau ke lab, karena aku
kalau ke lab, aku selalu dikejar – kejar… “Ine
belum selesai melanjutkan kata – katanya, sudah segera berdiri karena ada bola
nyasar lagi di situ.
Prak..! Hand phone tepat mengenai piring. Ine dan
semua cewek yang ada di situ bubar sambil tertawa – tawa. Alise tertawa tanpa mengeluarkan kata – kata, sampai menangis,
sambil tutupan slayer, tapi tangan kirinya masih sempat menyembunyikan jaket Steno ke dalam tasnya. Potongan rumput
kering dan ranting kering, yang sepertinya tadi mereka kumpulkan selama di
jalan, mulai berhamburan kemana – mana, “Tawuran dan perang saudara terjadi,
hingga rumput dan ranting kering ke mana – mana!” teriak Alise sambil tertawa.
Rumput
sampai ke tikar Albert. Albert, Ige, dan Nevskia lari, “Aish..!”
umpat Nevskia yang hilang sebelah sepatunya,
ia cari kemana-mana tapi tidak ada. Tapi perhatian Nevskia, tertuju di atas pohon..
“1,
2, 3.. Hup! Hahaha.. terdengar sangat melucukan, tas nyangsang di ranting pohon!”
teriak Arho dari bawah pohon, sambil
menuding ke arah tas Neapo yang dilemparkan
ke pohon. Setelah itu jaket Arho buru
– buru di ambil oleh teman–teman cowoknya dan dilemparkan ke pohon juga. Nevskia melihat mereka. “Hahaha..itu, jaket
si Arho diinjak burung dan dikotorin!”
teriak Icha sambil menuding jaket Arho, Arho marah-marah menatap jaketnya. Fruti juga menuding – nuding jaket Arho. Albert tertawa – tawa terbahak-bahak, Steno celingukkan mencari jaketnya, tapi ia masih sempat menertawai
Arho terlebih dahulu.
“Udah, udah yuk, pulang!” kata Neapo, setelah semua melempar-lempat
tasnya dengan sepatu dan berhasil menjatuhkan tas tersebut. Ia membersihkan tas
tersebut. Steno masih celingukan
mencari jaketnya sambil memunguti kulit rumput, tanting, dan sampah yang lain. Alise mengambil dan pura – pura sibuk
membersihkan slayernya yang kena rumput kering. Icha dan Fruti memberesi
sisa makanan. Nevskia mencari sebelah
sepatunya sambil mengamati pertunjukkan di depannya, Ine, Yersi, tertawa melihat
mereka.
“Woi,
rumputnya dibersihkan, sekarang!” teriak Steno
menunjuk sampah yang berserakan di depannya, di atas tikar dan di atas
rumput-rumput.
Arho, Neapo, Albert
dan kawan-kawan segera menoleh ke Steno dan
menunduk membersihkan rumput-rumput tersebut. “Tapi jaketku belum ke ambil!”
kata Arho. “Sepatuku juga belum
ketemu!” kata Steno. “Hah, sepatumu
ilang No?” tanya Arho. “Tuh, di Alise tuh!”
kata Albert. Arho menatap Alise.
Diikuti
Steno, Neapo menatap Alise.
”Apa,
nggak..!” kata Alise sambil
menggerak-gerakkan tangannya.
“Jangan
bohong, kasih Se!” kata Albert.
“Ah,
Albert mah nggak bisa diajak
kompromi!” kata Alise ngambek. Mengambil
jaketnya Steno di tasnya lalu
melemparkannya pada Steno.
Arho dan
Neapo melempar-lempar jaket itu
kembali dengan sepatu mereka, sebelum akhirnya salah satu Neapo memanjat pohon tersebut dan mengambil jaket tersebut yang
nyangkut di ranting.
“Ah,
ini dia sepatuku,” kata Nevskia mengamati
sepatunya, yang ia temukan setelah semua tikar digulung.
“Pulang-pulang yuk, pulang!” kata Arho. Arho, Steno, Albert dan Neapo kabur duluan, membiarkan para
cewek membersihkan lokasi, pura – pura tidak melihat kalau mereka lagi bersih –
bersih.
“Bentar
– bentar, nungguin mereka bentar!” kata Arho,
setelah mereka berjalan jauh, sampai tanjakkan “mbantuin mereka bawa tikar!”
kata Arho lagi sambil menggigit –
gigit rumput.
“Nevskia,”
panggil Arho yang melihat Nevskia kerepotan memmbawa tikar, hendak
membantu membawa tikar tersebut.
Semua
cowok berhenti dan menoleh kepada Nevskia,
yang sudah ada di belakang mereka. Nevskia
menoleh ke arah Arho sambil tertawa, tanpa
mengeluarkan suara, hanya memperlihkan gigi, dan manis wajahnya.
Arho
menelan ludahnya, tidak jadi memanggil Nevskia,
dia menoleh ke depan lagi, grogi, begitu juga cowok – cowok yang lainnya.
“Kok
bisa sih tikar nggak dibawa, Neapo,
masukkin kembali ke tasmu!” kata Janna sambil
membanting tikar-tikar yang ada ditangannya ke atas sadel sepedanya.
Semua
cowok menoleh dan mengamati Icha, segera
memasukkan tikar ke dalam tas-tas mereka. Nevskia
tertawa.
Akhirnya
mereka pulang lagi ke kampus bersama-sama, bertekad untuk mencari dan menyusuri
jalan setapak baru lagi, nyasar lagi, karena menemui jalan buntu, “Kita tersesat bersama
Albert lagi, Albert tukang macet.” kata Neapo.
"Ckckck," Janna yang masih kelihatan keren ala pembalap sepeda, menggeleng-gelengkan kepalanya tapi tertawa juga.
Mereka
menghindari jalan buntu tersebut dengan putar balik lagi. Mereka tiba-tiba
harus melewati dan menyebrangi sungai yang terjal. Mereka harus menuntun sepeda
mereka. Neapo dan Ine tertawa terpingkal – pingkal, mereka
tertawa terpingkal – pingkal sampai memegangi perutnya lagi, “Makanan Indonesia
yang banyak yang kita makan habis sampai di sini, gara-gara kita kehabisan
energi nyasar di sini!” kata Neapo.
Mereka
melewati pemukiman penduduk, jadi bahan tertawaan ibu–ibu, Fruti, Nevskia, dan Ine tertawa masam, sambil menuntun
sepeda, tampang mereka sudah acak-acakan dan dengan lumpur di mana-mana.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar